MEMPERBAIKI TANAMAN PANEN DENGAN MEMASUKKAN GEN ASING
MEMPERBAIKI TANAMAN PANEN DENGAN MEMASUKKAN GEN ASING
Pendahuluan
Bioteknologi
merupakan istilah yang digunakan untuk berbagai tehnik yang melibatkan
organisme sebagai untuk produksi massal. Menurut Konvensi PBB tentang
Keanekaragaman Hayati (pasal 2), bioteknologi adalah penerapan teknologi yang
menggunakan sistem-sistem hayati, makhluk hidup ataupun turunannya untuk
membuat atau memodifikasi produk atau proses yang ditujukan untuk penggunaan
khusus.
Perkembangan
biologi molekuler yang begitu pesat pada dua dekade terakhir, terutama dalam
teknologi DNA rekombinan merupakan dasar dalam perkembangan bioteknologi
molekuler Tanaman transgenik pada dasarnya merupakan penerapan kloning gen
dalam bioteknologi.
Kemampuan untuk
mengisolasi dan mengklon gen serta berkembangnya teknologi untuk memasukkan gen
ke tanaman, telah membuka metode baru untuk memperbaiki sifat genetis tanaman.
Strategi baru ialah untuk menemukan makhluk hidup yang dapat membawa dan
memasukkan sifat yang diinginkan ke
tanaman sasaran. Kemudian menggunakan teknik DNA rekombinan untuk mengisolasi
gen yang mengontrol sifat tersebut. Gen yang telah diisolasi itu kemudian
diatur lagi sehingga dapat berekspresi dalam sel tanaman, yang pada akhirnya
dapat dimasukkan ke tanaman panen dengan menggunakan vektor yang mampu
mentransfer gen yang diinginkan. Gen
tersebut dapat dipindahkan ke berbagai jenis tanaman panen, tanpa perlu
memperpanjang seleksi.
Dalam
bidang pertanian, aplikasi teknologi tanaman transgenik dapat dipakai untuk menghasilkan
produksi benih berkualitas yang tahan terhadap cekaman biotik (hama, penyakit
tanaman, tahan kekeringan, aluminium
tinggi, salinitas tinggi, suhu tinggi). Hal lain tanaman transgenik juga dapat
memperbaiki kualitas nutrisi (vitamin A-Golden Rice, Feritin Rice, kelengkapan
asam amino) dan ketahanan herbisida (Loedin, 2000)
Mikroorganisme dan kaitannya dengan tanaman transgenik
Mikroorganisme
diketahui mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan. Seiring
dengan perkembangan ilmu, peranan mikroba semakin dikenal dalam bidang
kesehatan, industri, pertanian, peternakan maupun lingkungan.
Teknologi
DNA rekombinan memperlihatkan peluang besar untuk memanfaatkan mikroorganisme
dalam bidang pertanian khususnya dalam menghasilkan pestisida bakteri untuk menekan
hama. Telah banyak dikenal jenis bakteri yang mempunyai sifat yang dapat
dimanfaatkan dalam tanaman transgenik.
Sifat ini disandi oleh gen yang terdapat di dalam mikroorganisme yang
dapat dipindahkan ke tanaman, Peranan yang cukup penting adalah sebagai vektor
yang akan membawa ge spesifik dari
hewan, tanaman atau mikroorganisme.
Vektor
yang sering digunakan dalam tanaman transgenik yaitu plasmid Ti dari Agrobacterium tumefaciens, Cauliflower
mosaic virus (CAMV) dan transfer gen langsung menggunakan plasmid bakteri (pBR
322) ( Brown, 1991). Beberapa bakteri yang telah digunakan dalam tanaman
transgenik :
·
Erwinia
uredovora mempunyai gen yang apabila ditambahkan pada padi dapat
meningkatkan pembentukan betakarotin, yang dikenal sebagai padi emas dan dapat
mengatasi kekurangan vitamin A
·
Eschericia
coli mempunyai gen gut D yang tahan terhadap tanah salin.
Bila gen ini ditransfer ke tanaman, maka
tanaman ini dapat tumbuh pada tanah yang salin
·
Agrobacterium
strain CP4 menghasilkan gen yang tahan terhadap herbisida.dan dapat
disisipkan ke tanaman kedele
·
Bacillus
thuringiensis adalah bakteri tanah yang mampu membunuh serangga.
Apabila gen ini disisipkan ke dalam kapas dan jagung, maka bakteri ini dapat
membentuk racun berupa protein kristal yang dapat merobek usus serangga
Tanaman Transgenik
Tanaman
transgenik adalah tanaman yang dihasilkan dengan teknik rekayasa genetika yaitu
dengan menyisipkan gen dari bakteri, virus atau organisme lain agar diperoleh
tanaman unggul yang mempunyai sifat seperi gen yang disisipi. Menurut Conner
(1997) adanya rekayasa genetika memungkinkan transfer DNA dari berbagai
organisme seperti tanaman, mikroorganisme atau hewan. Organisme yang telah
dimodifikasi untuk ditransformasi disebut GMO (Genetically Modified Organism).
Tanaman yang sudah diubah dengan teknologi DNA rekombinasi disebut tanaman
transgenik.
Tujuan
dikembangkannya tanaman transgenik adalah untuk mengatasi masalah kekurangan
pangan dan serat dunia. Banyak jenis tanaman yang telah dikembangkan melalui
rekayasa genetika, misalnya tembakau, kentang, kedelai, jagung, tomat, canola,
labu dan kapas (Suranto, 2000).
Adanya
keuntungan yang diberikan pagi petani menyebabkan tanaman transgenik telah
ditanam secara luas. Pada tahun 1999/2000 di USA, luas pertanaman tanaman
transgenik telah mencapai 28,4 juta ha. Sekitar 35% ditanami jagung dan 53%
kedelai transgenik. Pada tahun 1998/1999, kapas transgenik telah ditanam di
Australia, Argentina, Cina, Meksiko, Afrika Selatan dan USA dengan luas
pertanaman 2,6 juta ha atau sekitar 12% luas pertanaman kapas dunia (Padjung,
2001).
Tanaman transgenik tahan hama
dikembangkan bersamaan dengan tanaman transgenik tahan herbisida, Tanaman
transgenik tahan hama yang berhasil dikembangkan pertama kali adalah tanaman
resisten TMV (Tobacco Mosaic Virus) yang tahan TMV serta virus sekerabat dengan
cara menyisipkan gen penyandi virus TMV. Sampai tahun 1999 kira-kira 11,8 juta
hektar areal pertanian di seluruh dunia telah ditanami dengan tanaman
transgenik tahan hama terutama Bt-transgenik (Santosa, 2000).
Tanaman tersebut
disisipi dengan gen dari bakteri tanah Bacillus
thuringiensis (Bt). Bt memproduksi beberapa protein selama proses
pembentukan spora, termasuk juga endotoksin. Jika dimakan (termakan) insekta,
protoksin akan terpotong dalam usus insektamenghasilkan toksin yang aktif.
Toksin tersebut akan membunuh insekta akibat terikat ke reseptor pada usus yang
diikuti oleh dengan pembentukan pori-pori di usus. Pori-pori tersebut
menyebabkan bahan yang ada di dalam usus masuk ke dalam darah yang berakhir
dengan kematian insekta. Diperkirakan ada 60 protein yang berhasil
diidentifikasi dari 50 galur Bt dalam 20 tahun terakhir. Jenis dan macam
insekta yang dapat dibunuh dengan toksin Bt tergantung dari jenis toksin.
Pemakaian
Bt sebagai pestisida hayati telah dilakukan lebih dari 50 tahun yang lalu.
Pestisida Bt (biopestisida) akan hilang efektivitasnya dalam beberapa hari,
sehingga kurang efektif untuk menanggulangi hama.
Pada tanaman transgenik toksin Bt diproduksi
secara kontinu dan terlindung secara fisik dari lingkungan, sehingga tetap
memiliki kemampuan untuk membunuh hama sepanjang hidup tanaman. Lebih jauh,
toksin tersebut biasanya diekspresikan dalam setiap bagian tanaman termasuk
jaringan internal yang sulit dijangkau oleh pestisida. Dengan demikian Bt
toksin tanaman transgenik sangat efektif untuk membunuh hama yang menyerang
jaringan dalam seperti pink bollworm
di kapas dan European corn borer pada jagung.
Adanya
kemampuan tanaman untuk menghasilkan toksin Bt terus menerus, maka dapat
menimbulkan risiko berkaitan dengan persitensinya di lingkungan serta
kemungkinan hama berevolusi, sehingga menjadi resisten terhadap toksin tersebut
(Santosa, 2000).
Di Indonesia khususnya Sulawesi Selatan sejak 1998 sedang
dicoba untuk membudidayakan kapas transgenik. Kapas transgenik tersebut
diproduksi oleh perusahaan Multinasional Monsanto dengan nama Bollgard Nu COTN
35 B. Kapas ini disisipi dengan gen Bt (Bacillus
thuringiensis) yaitu gen Cry IA (C) yang merupakan penyandi racun kristal
protein.
Potensi dan Keuntungan Bt-Transgenik
Secara umum, dari berbagai laporan tentang tanaman
transgenik tahan hama cukup efektif untuk mengendalikan hama. Banyak petani
melaporkan terjadi penurunan penggunaan pestisida kimiawi dan peningkatan
hasil. Selama periode 1996-1998 terjadi penurunan penggunaan insektisida
sebesar 30-50% akibat komersialisasi kapas Bt-transgenik (William, 1999 dalam
Santosa, 2000) . Diperkirakan US$2,7 milyar dari total US$8,1 milyar biaya yang dikeluarkan untuk pemakaian insektisida
di seluruh dunia dapat dihemat akibat penanaman Bt-transgenik (Kratinger, 1997
dalam Santosa, 2000).
Tingkat
keuntungan yang diperoleh akibat penanaman tanaman Bt-transgenik sangat
tergantung lokasi. Di wilayah-wilayah yang menderita serangan hama hebat atau
perstisida tidak lagi efektif atau harga pestisida mahal, maka penggunaan
tanaman Bt-transgenik sangat menguntungkan.
Reduksi
pemakaian pestisida di sisi lain menguntungkan bagi lingkungan. Toksin Bt
memiliki target insekta yang spesifik, sedangkan insektisida kimia akan
membunuh hampir semua insekta yang terkena. Selain itu pestisida kimia
mengakibatkan munculnya hama sekunder yang menyebabkan pestisida harus
digunakan lebih banyak lagi.
Aspek manfaat dan dampak negatif tanaman transgenik
Tanaman
transgenik bayak dimanfaatkan pada tanaman pertanian, perkebunan maupun
hortikultura. Manfaat yang dapat diperoleh antara lain (Suwarso, 2000) :
1. Meningkatkan hasil
Gen
Norin 10 mengendalikan sifat ”semi dwarf”, membuat tanaman menjadi lebih pendek
dan kuat, tidak mudah rebah dan lebih responsif terhadap pemupukan dosis
tinggi.
2. Meningkatkan mutu
Penambahan
gen yang berasal dari bakteri Erwinia
uredovora pada padi dapat
meningkatkan pembentukan betakarotin. ”Padi emas” yang dihasilkan dapat
mengatasi kekurangan vitamin A. Melalui rekayasa genetik juga telah dihasilkan
tomat yang tetap segar dalam waktu lebih lama.
3. Produksi vaksin dan protein
Tanaman
pisang dapat disisipi gen penyebab hepatitis. Bila buah pisang tersebut
dikonsumsi, maka vaksin di dalam buah pisang dapat meningkatkan kekebalan tubuh
terhadap penyakit hepatitis. Tanaman tembakau yang telah direkayasa dapat
dijadikan penghasil protein untuk obat-obatan. Tanaman ini juga dapat digunakan
untuk menghasilkan enzim manusia yang dapat digunakan pada penyandang
keterlambatan mental (mental retardation).
4. Meningkatkan ketahanan terhadap
hama dan penyakit
Untuk
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama serangga banyak digunakan gen Cry.
Gen tersebut diisolasi dari Bacillus thuringiensis
dan menghasilkan racun Bt. Bakteri tersebut mempunyai banyak strain, masing-masing
menghasilkan kristal protein berbeda, tetapi semuanya bersifat insektisidal.
Untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap virus kebanyakan digunakan Coat
protein. Gen Ry yang berasal dari Solanum
stoloniferum sangat tahan terhadap
semua strain Potato Virus Y (PVY). Dengan tanaman transgenik yang tahan
terhadap hama atau penyakit, maka hasil panen dapat meningkat dan biaya
penggunaan pestisida dapat ditekan.
5. Meningkatkan toleransi terhadap
herbisida
Gulma
dapat merugikan tanaman pertanian. Pengendalian gulma seringkali menghadapi
kendala berupa kelangkaan tenaga kerja atau mahalnya upah tenaga kerja. Sebagai
alternatif maka digunakan herbisida, namun seringkali berdampak negatif
terhadap tanaman utamanya. Gen RR yang dimasukkan ke dalam tanaman dapat
meningkatkan toleransinya terhadap herbisida. Dengan demikian, penggunaan
herbisida menjadi efektif, tanaman utama tidak terganggu bahkan hasilnya dapat
meningkat.
Kelemahan tanaman transgenik
Selain mengetahui
manfaat tanaman transgenik, kita perlu waspada terhadap hal-hal yang menjadi
kelemahannya. Kelemahan yang ditimbulkan oleh tanaman transgenik dapat menjadi
sesuatu yang merugikan, antara lain :
1. Meningkatkan toleransi atau
timbulnya biotipe serangga hama
Dalam
rekayasa genetik yang dipindahkan pada umumnya adalah gen tunggal atau bahkan
segmen DNA. Ekspresi ketahanan biasanya sangat kuat, sehingga dapat menimbulkan
tekanan seleksi terhadap populasi serangga hama.Serangga hama yang tidak tahan
akan mati, sedangkan yang dapat bertahan akan beradaptasi dan berkembang biak
menjadi biotipe baru.
2. Menimbulkan risiko terhadap
organisme non target
Potensi
risiko terhadap organisme dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu pengaruh
langsung terhadap herbivora, omnivora dan mikroorganisme non target yang
memakan bagian tanaman yang masih hidup dan detrivor yang memakan bagian
tanaman yang mati. Resiko tidak langsung terhadap spesies non target melalui
spesies antara. Misalnya penelitian yang dilakukan Dr.Losey pada kupu-kupu
monarch yang mati setelah makanannya dicampur dengan tepung sari jagung Bt.
3. Ketahanan serangga hama terhadap
pestisida
Banyak
serangga hama telah berevolusi menjadi tahan terhadaap racun Bt di laboratorium
dan lapangan.Semula kapas Bt sangat efektif terhadap Pectinophora gossypiela, tetapi karena penanaman kapas Bt sangat
luas sehingga tanaman inang untuk serangga hama ini menjadi terbatas, maka
serangga menjadi tahan 100 kali lipat terhadap racun Bt. Hal ini terjadi karena
Pectinophora gossypiela telah tahan
terhadap racun Bt yang disemprotkan.
4. Penurunan populasi alami
Tanaman
transgenik yang mematikan serangga hama, juga dapat menimbulkan keracunan dan
kematian pada musuh alami serangga hama
5. Kerentanan terhadaap jasad
pengganggu non target
Ketahanan
tanaman transgenik ditujukan terhadap serangga hama atau penyakit tertentu.
Dalam prakteknya dapat dilihat bahwa tanaman transgenik tersebut dapat
terserang oleh serangga hama atau patogen lain yang bukan targetnya. Dalam
keadaan demikian untuk mencegah kerugian tetap diperlukan biaya untuk
pengendalian jasad pengganggu non target tersebut
6. Menahan produksi
Untuk
melakukan pertahanan diri atau kekebalan terhadap herbivor, tanaman memerlukan
energi lebih banyak dibanding tanaman biasa. Oleh karena ituenergi untuk
produksi tanaman menjadi berkurang atau terhambat.
7. Menimbulkan dampak terhadap
ekologi tanah
Bt-transgenik
akan mensekresikan toksin yang diproduksinya ke dalam tanah. Toksin tersebut
secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan mikroba
tanah. Selain itu bagian tanaman yang gugur akan memasuki lingkungan tanah dan
mempengaruhi kehidupan di dalamnya. Tanaman transgenik juga akan melepaskan DNA
asingnya ke dalam tanah. Persistensi DNA di dalam tanah akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya transfer gen horizontal dari tanaman transgenik ke
bakteri.
8. Menimbulkan gen buron
Terjadinya
gen buron merupakan hal yang paling ditakutkan oleh ahli ekologi dan lingkungan.
Meskipun fakta mengenai hal ini belum banyak karena pengembangan tanaman
transgenik masih relatif baru. Gen asing yang ada pada tanaman transgenik dapat
pindah ke tanaman atau organisme lain dan menghasilkan tanaman super (super weed) yang mungkin tidak
diinginkan lingkungan.
9. Dampak dari hak paten
Tanaman
transgenik dikembangkan dengan teknologi tinggi oleh perusahaan besar di dunia
dan dilindungi oleh hak paten. Hal ini berarti harga benih tanaman transgenik
tidak murah, dan melarang perorangan atau lembaga lain untuk mengembangkan dan
memperbanyak benih tanpa izin. Bahkan ada perusahaan yang mengembangkan
teknologi ”terminator” dimana produk yang dihasilkan bersifat steril. Akibatnya
terjadi ketergantungan petani pada perusahaan penghasil tanaman
transgenik.
Teknik Pemindahan Gen ke Tanaman
Ada
beberapa metode yang dipakai untuk memasukkan gen asing ke tanaman yaitu:
- Tidak langsung (melalui vektor)
- Langsung (melalui sel atau protoplast)
a. Metode
Tidak Langsung
Pada metode ini pemindahan
gen dilakukan melalui perantara vektor. Vektor adalah sarana/ kendaraan untuk
menyisipkan molekul DNA asing masuk ke dalam sel host. Vektor yang sering
dipakai pada tanaman tingkat tinggi yaitu plasmid bakteri dan virus. Metode ini
dianggap paling efektif dan sering digunakan utamanya pada tanaman dikotil.
Plasmid
yang efektif dan sering digunakan adalah plasmid dari bakteri Agrobacterium tumefaciens. Bakteri dapat
menginfeksi jaringan tanaman, dan menyebabkan terjadinya penyakit tumor pada
tanaman (gall disease = crown gall). Tumor ini terjadi oleh adanya proliferasi sel-sel yang tidak terkoordinasi. Dalam
jaringan tumor tersebut, akan disintesis senyawa-senyawa asing yang sebelumnya
tidak dibentuk. Sintesis senyawa tersebut dikendalikan oleh bakteri Agrobacterium tumefaciens, dan
diperlukan sebagai sumber karbon dan nitrogen bakteri. Senyawa tersebut ada 2
golongan opin yaitu:
- Golongan oktopin, merupakan senyawa derivat
karboksietil dari asam amino arginin.
- Golongan nopalin, merupakan senyawa derivat
dikarboksi propil dari asam amino ariginin.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa adanya kemampuan bakteri Agrobacterium
tumefaciens untuk memanfaatkan sel tanaman, ternyata disebabkan oleh adanya
plasmid Ti (tumor inducing) dalam bakteri tersebut. Plasmid ini berukuran lebih
dari 200 kb, yang membawa banyak gen yang terlibat dalam proses infeksi. Sifat
yang menyolok pada plasmid Ti ialah bahwa setelah infeksi, sebagian dari
molekul ini akan berintegrasi dalam DNA kromosom. Diketahui pula bahwa 10% DNA
plasmid Ti dapat berintegrasi dengan DNA nukleus, tetapi tidak pernah
berintegrasi dengan DNA organel baik mitokondria atau kloroplas.
Bagian plasmid Ti
yang berintegrasi dengan DNA nukleus tersebut disebut sebagai T-DNA (Transfer
DNA). T-DNA berukuran antara 12-24 kb (Glick & Pasternak, 1994). Adanya
kemampuan untuk berintegrasi ini memungkin plasmid Ti dapat dipakai sebagai
vector untuk menyisipkan gen asing ke
dalam genom tanaman.
Penggunaan Plasmid Ti untuk memasukkan gen asing ke dalam sel tanaman.
Plasmid
Ti yang dipakai untuk memindahkan gen asing ke dalam sel tanaman, mempunyai
ukuran yang besar (200 kb). Problem yang muncul adalah sulit untuk menemukan
site yang tepat untuk memotong DNA plasmid.
Ada dua starategi
umum yang digunakan untuk menginsersikan DNA asing ke dalam tanaman, yaitu:
1. Sistem vektor biner (binary
vector system)
Pada sistem ini
digunakan dua vektor yang telah dirancang sedemikian rupa, sehingga kedua
vektor tersebut akan saling melengkapi sebelum disisipkan ke sel tanaman
2. Sistem vektor kointegrasi
(cointegrate vector system)
Pada sistem ini
digunakan plasmid berukuran kecil yang berperan sebagai vektor perantara (intermediate
vector) misalnya pBR 322 dari E. coli.
Kemudian plasmid ini ditransfer dari E.coli
ke A. tumefaciens dengan cara
konjugasi. Sejak diketahui bahwa rekombinasi dengan cara alamiah tersebut
jarang terjadi, dan vektor tersebut mudah berdegradasi, maka dicoba ke dalam
shuttle vektor. Rekombinasi dapat diseleksi dengan memasukkan gen resisten
terhadap anti biotik ke dalam T-DNA sebelum diklon dengan shuttle vector.
b. Metode langsung
Pada
metode ini, pemindahan gen dilakukan secara langsung ke dalam sel atau
protoplast. Penggunaan dengan metode ini mempunyai tingkat keberhasilan
(efektivitas yang rendah). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan misalnya
dengan elektroporasi, mikroinjeksi, penembakan partikel (microprojectile
bombardment = biolistic).
Pengkajian Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan
Pengkajian
keamanan hayati didasarkan pada kajian kemungkinan adanya dampak dari organisme
hasil rekayasa genetik terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati. Dampak
organisme hasil rekayasa genetik atau diistilahkan dengan Produk Pertanian
Hasil Rekayasa Genetik (PPHRG) perlu dikaji, apakah gen eksogenous yang ditransformasikan
adalah gen yang aman atau tidak.
Pengkajian
keamanan pangan PPHRG harus mempertimbangkan kemungkinan adanya perubahan
produk, baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan dari produk akhir.
Sehubungan dengan itu dilakukan evaluasi kesepadanan substansial, alergen, gen
penanda resisten antibiotik dan toksisitas. Bila informasi tentang hal tersebut
belum lengkap atau meragukan, maka perlu dilakukan uji laboratorium dan atau
penambahan data terbaru ((Moeljopawiro, 2000).
1. Kesepadanan substansial
Evaluasi
ini digunakan untuk menetapkan keamanan pangan dan komponen pangan PPHRG.
Tingkat dan variasi kesepadanan substansial untuk PPHRG mempertimbangkan
tentang kelaziman variasi karakteristik yang ada pada pangan pembanding dan
berdasarkan analisis data yang sesuai. Penentuan kesepadanan substansial pada
PPHRG memerlukan pertimbangan karakteristik bahan pangan atau hasil olahannya
yang meliputi perbandingan komposisi zat gizi, komponen kritis dan sifat
fenotipe dengan pangan yang diperoleh secara konvensional
a.
Komposisi zat gizi
Zat gizi kunci adalah zat gizi pada
produk pangan yang sangat kuat pengaruhnya terhadap makanan secara keseluruhan.
Analisis komposisi zat gizi tersebut harus memberikan informasi yang cukup,
sehingga dapat dibandingkan dengan pembanding konvensional secara efektif.
Analisis yang dilakukan adalah proksimat (serat kasar, abu, karbohidrat, lemak
dan protein), asam lemak, asam amino, dan senyawa minor (mineral dan vitamin)
b. Komponen
kritis
Komponen kritis yang digunakan
adalah dengan mengidentifikasi zat gizi kunci dan toksisikan kunci termasuk zat
anti gizi dan kemudahan cerna bahan pangan yang diuji.Toksisikan kunci adalah
senyawa yang diketahui bermakna secara toksikologi yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan makanan tersebut, yang dapat mengganggu kesehatan. Zat
anti gizi adalah zat yang mengambil alih fungsi suatu zat gizi atau zat lain
yang merugikan penyerapan zat gizi. Daya cerna adalah jumlah dalam persen zat
gizi yang dapat diuraikan.
c. Sifat fenotipe
Fenotipe tanaman meliputi bentuk,
ukuran, warna, tekstur, aroma, rasa dan
karakteristik lain pada kondisi normal. Fenotipe mikroba meliputi karakteristik
spesies, potensi kolonisasi, infektifitas, keragaman inang, adanya plasmid,
pola resistensi antibiotik dan toksigenisitas. Fenotipe hewan meliputi bentuk,
ukuran, warna, aroma, rasa dn karakteristik lain
2.
Alergenisitas
Alergenisitas
makanan adalah reaksi efek samping yang melibatkan sistim kekebalan tubuh
antigen spesifik imunoglobulin E (IgE) pada indovidu yang sangat peka terhadap
substansi khusus yang terdapat pada makanan atau komponen makanan. Untuk
menilai apakah pangan berasal dari PPHRG dapat menimbulkan alergi atau tidak,
dilakukan dengan cara mengkaji status gen donor (eksogenous) apakah berasal
dari sumber yang bersifat alergen atau tidak. Bila bukan dari sumber alergen
diperlukan informasi tentang gen donor yang meliputi tidak homologi dengan
alergen, tidak stabil dalam di dalam pencernaan dan homologi dengan protein
yang aman. Namun apabila gen donor tersebut berasal dari spesies yang
diketahuisebagai sumber alergen maka diperlukan tahapan pengujian laboratorium
3. Gen penanda resisten antibiotik
Gen
penanda resisten antibiotik adalah gen pembawa resistensi terhadap antibiotik
yang digunakan sebagai penanda pada seleksi sel hasil transformasi pada proses
pembuatan tanaman transgenik. Jika PPHRG dan hasil olahannya mengandung gen
penanda resisten antibiotik, maka pengkajian keamanan pangan harus meliputi
keamanan protein atau enzim yang dikode oleh gen tersebut. Evaluasi meliputi :
penilaian potensi toksisitas protein, penilaian kemampuan protein untuk
menimbulkan reaksi alergenik dan penilaian keberadaan enzim atau protein yang
dikode oleh gen penanda resisten antibiotik dalam makanan.
4. Toksisitas
Informasi
uji toksisitas dengan pangan yang berasal dari PPHRG yang bersifat akut
diperlukan, apabila terdapat indikasi sifat-sifat toksik dari sumber gen yang
disisipkan. Toksisitas kronik, mutagenik, teratogenik perlu dipantau secara terus
menerus selama bahan pangan asal PPHRG digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brown T.A, Pengantar Kloning Gen, Yayasan Essentia Medica Yogyakarta, 1991
2. Conner, Genetically Engineered Crops,
Environmental and Food Safety Issue The Royal Society of New Zealand , 1997
3. Glick B.R., Pasternak
J.J, Molecular Biotechnology Principles and Application of Recombinant DNA, ASM
Press Washington DC , 1994
4. Loedin I.H.S, Pengembangan Tanaman Transgenik : Peluang dan
Tantangannya, Puslitbang Bioteknologi LIPI, 2001
5. Moeljopawiro S., Kekhawatiran terhadap Organisme Transgenik dan
Pengkajian Keamanannya, Kepala dan Pemulia Balai Penelitian Bioteknologi
Tanaman Pangan (Balitbio) Deptanhut, 2000
6. Padjung, R., Tanaman Transgenik : Mengapa kita perlu berhati-hati,
Fakultas Pertanian dan Kehutanan UNHAS, 2001
7. Santosa, Pengembangan Bt-transgenik dan Analisis Risiko Terhadap
Lingkungan, Fakultas Pertanian, PPLH dan PAU Bioteknologi IPB dan Indonesian
Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB), Bogor, 2000
8. Suranto S, Penerapan Bioteknologi Ramah Lingkungan dalam Upaya Pemenuhan
Kebutuhan Pangan, Paper yang disampaikan pada Konperensi Nasional XV Pusat
Studi Lingkungan, 2000
9. Suwarso, Aspek Teknis dan Ilmiah Pengembangan Tanaman Transgenik dan
Teknologi Alternatif, Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, 2000
Comments
Post a Comment