HORMON AUKSIN


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Hormon tumbuhan atau sering disebut fitohormon merupakan sekumpulan senyawa organik bukan hara (nutrien), baik yang terbentuk secara alami maupun buatan, yang dalam kadar sangat kecil mampu menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis untuk mendorong, menghambat, atau mengubah pertumbuhan, perkembangan, dan pergerakan (taksis) tumbuhan. "Kadar kecil" yang dimaksud berada pada kisaran satu milimol per liter sampai satu mikromol per liter (Kurniati, 2012).
Penggunaan istilah "hormon" sendiri menggunakan analogi fungsi hormon pada hewan. Namun demikian, hormon tumbuhan tidak dihasilkan dari suatu jaringan khusus berupa kelenjar buntu (endokrin) sebagaimana hewan, tetapi dihasilkan dari jaringan non-spesifik (biasanya meristematik) yang menghasilkan zat ini apabila mendapat rangsang. Penyebaran hormon tumbuhan tidak harus melalui sistem pembuluh karena hormon tumbuhan dapat ditranslokasi melalui sitoplasma atau ruang antarsel (Kurniati, 2012). .
Hormon tumbuhan dihasilkan sendiri oleh individu yang bersangkutan ("endogen"). Rangsangan lingkungan memicu terbentuknya hormon tumbuhan. Bila konsentrasi hormon telah mencapai tingkat tertentu, sejumlah gen yang semula tidak aktif akan mulai ekspresi. Dari sudut pandang evolusi hormon tumbuhan merupakan bagian dari proses adaptasi dan pertahanan diri tumbuh-tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidup jenisnya (Kurniati, 2012).
Pemberian hormon dari luar sistem individu ("eksogen") dapat dilakukan  dengan menggunakan bahan kimia non-alami (sintetik, tidak dibuat dari ekstraksi tumbuhan) yang menimbulkan rangsang yang serupa dengan fitohormon alami (Kurniati, 2012). 
Berdasarkan teori diatas maka dilakukanlah percobaan hormon auksin ini.

I.2 Tujuan Percobaan
            Tujuan percobaan ini ialah melihat pengaruh cahaya matahari terhadap aktivitas hormon auksin pada tanaman jagung Zea mays.

I.3 Waktu dan Tanggal
            Percobaan ini dilakukan pada hari Rabu, tanggal 29 April 2013, pukul 14.00-17.00 bertempat di Laboratorium Botani, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

             Para ahli fisiologi telah meneliti pengaruh auksin dalam proses pembentukan akar lazim, yang membantu mengimbangkan pertumbuhan sistem akar dan sistem tajuk. Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa auksin dari batang sangat berpengaruh pada awal pertumbuhan kar. Bila daun muda dan kuncup, yang mengandung banyak auksin, dipangkas maka jumlah pembentukan akar samping akan berkurang. Bila hilangnya organ tersebut diganti dengan auksin, maka kemampuan membentuk akar sering terjadi kembali (Salisbury dan Ross, 1995).
3 auksin.jpg
Gambar 1. Aplikasi IAA pada jaringan yang luka dapat menyebabkan diferensiasi


Istilah auksin berasal dari bahasa Yunani yaitu auxien yang berarti meningkatkan. Auksin ini pertama kali digunakan Frits Went, seorang mahasiswa pascasarjana di negeri Belanda pada tahun 1962, yang menemukan bahwa suatu senyawa yang belum dapat dicirikan mungkin menyebabkan pembengkokan  koleoptil oat kearah cahaya. Fenomena pembengkokan ini dikenal dengan istilah fototropisme. Senyawa ini banyak ditemukan Went di daerah koleoptil. Aktifitas auksin dilacak melalui pembengkokan koleoptil yang terjadi akibat terpacunya pemanjangan pada sisi yang tidak terkena cahaya matahari (Salisbury dan Ross, 1995).
2 auksin.jpg
Gambar 2. Percobaan Went


 Auksin juga memacu perkembangan akar liar pada batang. Banyak spesies berkayu, misalnya tanaman apel (Pyrus malus), telah membentuk primordia akar liar terlebih dahulu pada batangnya yang tetap tersembunyi selama beberapa waktu lamanya, dan akan tumbuh apabila dipacu dengan auksin. Primordia ini sering terdapat di nodus atau bagian bawah cabang diantara nodus. Pada daerah tersebut, pada batang apel, masing-masing mengandung sampai 100 primordia akar. Bahkan, batang tanpa primordia sebelumnya akan mampu menghasilkan akar liar dari pembelahan lapisan floem bagian luar (Salisbury dan Ross, 1995).          
            Auksin yang ditemukan Went, yang kini diketahui sebagai Indol Asetat Acid (IAA) atau Asam Indole Asetat dan beberapa ahli fisiologi masih menyamakannya dengan auksin. Namun tumbuhan mengandung 3 senyawa lain yang struktrurnya mirip dengan IAA dan menyebabkan banyak respon yang sama dengan IAA. Ketiga senyawa tersebut dapat dianggap sebagai auksin. Senyawa-senyawa tersebut adalah asam 4-kloroindol asetat, asam fenilasetat (PAA) dan asam Indolbutirat (IBA) (Dwidjoseputro, 1990).
            Asam 4 kloroindol asetat ditemukan pada biji muda berbagai jenis kacang-kacangan. Asam fenilasetat (PAA) ditemukan pada berbagai jenis tumbuhan dan sering lebih banyak jumlahnya dari pada IAA, walaupun kurang aktif dalam menimbulkan respon IAA. Asam indol butirat merupakan senyawa yang ditemukan belakangan. Senyawa ini ditemukan pada daun jagung dan berbagai jenis tumbuhan dikotil, sehingga kemungkinan besar zat tersebut tersebar luas pada dunia tumbuhan (Tjitrosoma, 1984).
            Selain senyawa-senyawa tersebut diatas, ada tiga senyawa lainnya yang ditemukan pada banyak tumbuhan dan mempunyai aktivitas auksin yang tinggi. Ketiganya mudah teroksidasi menjadi IAA invivo dan barangkali hanya aktif setelah peralihan tersebut. Ketiga senyawa tersebut belum dikelompokkan sebagai auksin. Mereka adalah indolasetaldehid, indolsetonitril dan indoletanol. Masing-masing memiliki struktur serupa dengan auksin, hanya saja mereka tidak memiliki gugus karbonil (Salisbury dan Ross, 1995).
             Pengangkutan IAA sebagai hormon dari jaringan ke jaringan yang lain berbeda dengan pengangkutan atau pergerakan gula, ion, dan linarut tertentu lainnya. IAA biasanya tidak dipindahkan melalui tabung tapis floem atau melalui xilem, tetapi terutama melaui sel parenkim yang bersinggungan dengan berkas pembuluh. IAA akan bergerak melalui tabung tapis jika diberikan dipermukaan daun yang cukup matang untuk mengangkut gula kelur, tetapi biasanya pengangkutan pada batang dan tangkai daun berasal dari daun muda menuju arah bawah sepanjang berkas pembuluh (Kimball, 1999).
1 transport IAA.jpg
Gambar 3. Transport Auksin
            Cara pengangkutan auksin atau IAA ini memiliki beberapa keistimewaan yang berbeda dengan pengangkutan floem. Beberapa keistimewaan tersebut antara lain (Goldsworhty dan Fisher, 1992) :
a.       Pergerakan auksin itu lambat
Pergerakan auksin hanya sekitar 1 cm/jam di akar dan di batang tumbuhan.
b.      Pengangkutan berlangsung secara polar
Pada batang arahnya lebih sering batipetal (mencari dasar), tanpa menghiraukan dasar tersebut berada dalam posisi normal ataupun terbalik. Pengangkutan diakar juga berlangsung secara polar, tetapi arahnya akropetal (mencari apex atau ujung).
c.       Pengangkutan memerlukan energi hasil metabolisme
Pergerakan auksin ini memerlukan energi metabolisme berupa adenosine triphospat (ATP). Hal ini ditunjukkan dengan terhambatnya pergerakan auksin apabila ditemukan zat-zat penghambat sintesa ATP. Zat-zat penghambat tersebut antara lain adalah asam 2,3,5-triodobenzoat (TIBA) dan asam alfa naftilamat (NPA). Meskipun kedua senyawa tersebut tidak terlibat langsung dalam penghambatan pergerakan senyawa auksin, namun senyawa-senyawa tersebut sering disebut senyawa antiauksin.
Capture.JPG
Gambar 1. Auksin pada perkembangan embrio


 IAA terdapat pada akar, pada konsentrasi yang hampir sama dengan konsentrasi dibagian tumbuhan yang lain. Diperkirakan, sel akar umumnya mengandung cukup atau hampir cukup auksin untuk memanjang secara normal. Banyak potongan akar tumbuh selama beberapa minggu atau beberapa hari secara in vitro tanpa penambahan auksin. Hal ini menandakan bahwa kebutuhan auksin pada akar tersebut sudah terpenuhi dari hasil sintesis sendiri (Lakitan, 1993).
Setelah mencoba menginduksi pembungaan dengan cara membuat variasi suhu, kelembapan, dan nutrisi mineral, Gardner dan Allard mempelajari bahwa pemendekan siang hari pada musim dinginlah yang merangsang tumbuhan Maryland berbunga. Jika tumbuhan itu dipelihara dalam kotak yang kedap cahaya sehingga lampu dapat digunakan untuk memanipulasi durasi siang dan malam, pembungaan akan terjadi jika panjang siang hari adalah 14 jam atau lebih pendek. Tumbuhan ini tidak berbunga selama musim panas, karena posisi garis lintang di Maryland, sehingga siang hari terlalu panjang selama musim itu (Lakitan, 1993).
 Pentingnya proses pembungaan menyebabkan banyak ahli fisiologi tumbuhan mencoba mencari apa yang memulainya. Dalam beberapa kasus, rangsangan semata-mata tampaknya dari dalam, seperti pada varietas tomat tertentu secara otomasis membentuk primodial bunga setelah terbentuk 13 ruas pada batang yang tumbuh (Lakitan, 1993).















BAB III
METODE PERCOBAAN

III. 1 Alat
 Alat - alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu gunting dan mistar.

III.2 Bahan
 Bahan - bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu biji jagung Zea mays, tanah gembur, kardus, selotip, polybag dan air.

III.3 Prosedur Kerja
Prosedur kerja dari percobaan ini yaitu:
1.      Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2.       Memasukkan tanah gembur secukupnya ke dalam enam buah polybag.
3.       Menanam bibit jagung sebanyak tiga biji ke masing-masing polybag.
4.      Meletakkan tiga polybag di tempat yang terkena sinar matahari.
5.      Memasukkan tiga polybag lainnya ke dalam kardus dan ditempatkan di tempat gelap.
6.      Menutup rapat kardus dengan selotip.
7.      Melakukan pengamatan setiap lima hari sekali selama 15 hari.
8.      Mengamati warna daun, tinggi batang, serta bentuk batang.
9.       Pada pengamatan terakhir, mencabut akar tumbuhan lalu mengamati bgain akarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dwidjoseputro, D., 1990.  Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Goldsworthy, F.R., dan Fisher, 1992Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. UGM Press, Yogyakarta.

Kimball, J.W., 1999. Biologi Jilid 2. Erlangga, Jakarta.

Kurniati, N., 2012. Hormon Tumbuhan. http://petunjukbudidaya.blogspot.com/2012/11/hormon-tumbuhan-atau-zpt-zat-pengatur.html. Diakses pada hari Selasa, tanggal 09 April 2013, pukul 09.34 WITA.

Lakitan, B., 1993. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada,
            Jakarta.

Salisbury, F.B. dan Cleon W. Ross, 1995Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. ITB Press, Bandung.

Tjitrosoma, S.S., 1984. Botani Umum 3. Angkasa, Bandung.




Comments