TANA TORAJA




  1. PENDAHULUAN
Toraja Tondok Lepongan Bulan, Tana Matari’ Allo
Beberapa pendapat tentang asal-usul suku bangsa Toraja

Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul nama Toraja(sekarang: Tana Toraja). Di antaranya yang terpenting ialah: orang Bugis Luwu menyebutnya To Riaja, yaitu kelpmpok masyarakat yang bermukim di daerah sebelah barat(riaja) yang bersebelahan dengan wilayah timur(rilau’), Luwu; orang Bugis Sidenreng menyebutnya To Riaya, yaitu kelompok  masyarakat yang bermukim di daerah bagian atas (pegunungan); sementara orang Makassar ( Gowa) menyebutnya Toraja, yang mengandung arti negeri asal raya seperti yang lazim di sebut dalam legenda La Kipadada dan I Lando Belua, Rja Gowa, yang dalam versi Toraja disebut Lando Rundun karena panjang rambutnya 17 depa 700 jengkal yang pindah bersama sumur batunya dari gunung Sesean di Toraja ke Gowa. Dan yang terakhir adalah pendapat dari masyarakat Toraja sendiri yaitu To Raa, atau To Raya, berasal dari kata-kata  Maraa atau Maraya yang beraarti orang pemurah hati atau orang besar, rendah hati, sederhana, toleran, demokratis, sederajat dan tidak dalam arti orang besar yang berkuasa.
                Masyarakat Toraja hidup di dalam lingkungan nilai sosial budaya yang khas. Mereka tumbuh dan berkembang melalui proses social budaya dan pengalaman hidup yang panjang, taat dan setia kepada aluk sola pemali, yaitu tatanan hidup dan berpantangan, terikat pada keluhuran rumah-rumah adat Tongkonan (tongkon = datang duduk pada kedukaan), yang tersebar dalam jumlah yang tidak sedikit di suatu wilayah yang “aman, rukun dan damai”. Itulah kawasan yang sering disebut dalam legenda sebagai Tondok Lepongan Bulan, Tana Matari’ Allo atau Negeri Bulat Bersatu Bagaikan Bulan, Bumi Matahari Terbit. Suatu mitos indah yang melambangkan persatuan dna kesatuan yang tiada cacat. Namun dalam kenyataanya terjadi pada saat-saat tertentu saja . Tidak dalam jangka waktu panjang, karena orang Toraja sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup: kebebasan,keterbukaan, sederajat dan demokrasi yang tercermin dalam ungkapan sehari-hari: pada tau ki’, pada muane ki’, pada to sugi’ki’, musanga raka, yang bermuara pada ma’ kurin senga’, yaitu “selfreli ance” (mandiri atau percaya pada diri sendiri) dalam mengatur kehidupannya di dalam lingkungan wilayahnya sendiri tanpa di campuri oleh kelompok masyarakat dari wilayah lain. Oleh sebab itu pada masa silam Tana Toraja tidak pernah dikuasai oleh seorang penguasa tunggal atau raja seperti daerah-daerah lainnya di Sulawesi Selatan, tetapi terbatas pada pengelompokan suku/ adat dalam wilayah kecil, namun masih melakukan hubungan dengan kelompok masyarakat lainnyya atas dasar sederajat (pada tau), persamaan (aluk sola pemali) dan kaitan genealogi (hubungan sedrah) melalui Tongkonan.
                Selain itu asal- usul masyarakat Toraja pun di uraikan oleh berbagai pandangan dan hipotesa yang masih harus dibuktikan kebenarannya, agar tidak hanya terbayang pada legenda-legenda prasejarah yang tidak mengandung data-data sejarah.


  1. Latar Belakang Pong Tiku

Pong Tiku Dilahirkan Sebagai Seorang Pemimpin

                Pong Tiku lahir pada tahunn 1846 di kampong Tondon, negeri Pangala’, sekarang Kecamatan Rinding Allo, Kabupaten Tana Toraja, yang letaknya kurnag lebih 30 km dari Rantepao bagian barat laut. Ketika masih kecil ia bernama Matasak  dan setelah dewasa orang Bugis ia di beri nama Ne’ Baso’. Ayahnya, KaraEng, adalah seorang penguasa adat Pangala’ dan ibunya bernama Le’ bok. Pong Tiku adalah anak bungsu  dari enam bersaudara. Saudaranya yang laki-laki ialah Palulun, Ampang Allo, Toding dan Tendeng. Adapun saudaranya seorang perempuan bernama Banaa.
                Pong Tiku adalah nama yang diberikan oleh ayahnya setelah ia dewasa, yang mengandung arti, Pong menunjukkan kastanya sebagai anak kepala suku/adat dan Tiku memberikan tekanan pada sikap serta wataknya sebagai seorang pemberani dan berjiwa besar. Di tanah kelahirannya, Pong Tiku terkenal dengan Untaloi Tiku Tondok yakni keberanian serta ketangguhannya dalam mengalahkan semua penantang tumbuh dewasa, Tana Toraja terbagi dalam berbagai anak suku yang satu sama lain saling bermusuhan.
                Dari ke-enam saudaranya hanya Pong Tikulah yang mewarisi sifat kepemimpinan ayahnya KaraEng. Setelah dewasa ia selalu di beri kepercayaan dan tanggung jawab tugas dan peran ayahnya selaku penguasa adat, dan ia adalah pewaris tunggal untuk menggantikan kedudukan ayahnya bila meninggal sebagai kepala suku dan penguasa adat untuk memimpin negeri Pangala’. Dan seluruh rakyat Pangala’ bersepakat mendukung serta memilihnya sebagai Parengnge’ (penanggung jawab).
                Ketika masih muda Pong Tiku sangat gemar bermain Sisemba’, yaitu jenis permainan olahraga kaki, dan permainan Sisambak sejenis olahraga anggar dengan menggunakan sapu lidi. Olahraga itu diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu yaitu, pada upacara panen atau sesudah panen usai dan pada upacara adat lainnya. Bagi masyarakat Tana Toraja, khususnya masyarakat Pangala’ kedua jenis pemainan rakyat ini merupakan arena latihan jasmani dan semangat dalam upaya membina kecerdikan serta ketangkasan dalam menghadapi setiap tantangan dan perkelahian.
                Sebagai seorang putra penguasa adat yang dihormati, Pong Tiku pun sangat gemar bersolek. Sikapnya yang rendah hati ditunjukkan dengan sikapnya yang ramah dan senang bergaul dengan siapapun .Ia rajin belajar berbagai pengetahuan serta ilmu dari mereka yang menurut pandangannya lebih tinggi pengetahuan serta ilmunya. Terutama dari orang cerdik pandai, para pedagang dari suku-suku lain. Oleh karena itu yang selalu teruji dalam pertandingan keterampilan kaki. Ia dikagumi sekaligus disegani oleh para pemuda sebayanya, dan menjadi panutan bagi impian para gadis. Di antaranya seorang gadi bernama Lai’ Tasik yang kemudian dipersunting oleh Pong Tiku  sebagai isterinya.
                Beberapa bulan setelah menikah, Pong Tiku membawa serta isterinya, Lai’ Tasik, kedalam benteng Ka’do. Tidak berapa lama kemudian lahirlah anak Pong Tiku yang diberi nama Soma’ di dalam benteng itu, yang disambut dengan gembira oleh penghuni benteng dengan menyelenggarakan upacara syukuran secara adat. Dalam upacara itu hadir pla para penghuni benteng Tondok, Buntu Asu dan rakyat sekitarnya sebagai  tanda ikut bergembira dan berterimakasih kepada Puang Matua, Sang Pencipta.
                Setiap pendatang, terutama para pedagang kopi dan pedagang emas, disambutnya dengan tangan terbuka dan kepada mereka itulah Pong Tiku banyak bergaul dan banyak belajar. Para pedagang itu datang dari selatan, dan banyak di antarnya dari Bugis Sindereng dan Sawitto. Dari utara banyak pula berdatangan pedagang dari Bugis Luwu dan Bone. Selain membawa dagangannya, mereka juga membawa serta senjata-senjata api untuk ditukar dengan hasil bumi di Tana Toraja.Memang, daerah Pangala’ sampai Bittuang telah dikenal sebagai pusat perdagangan kopi dan biji-biji emas, hingga hubungan Pong Tiku dengan para pedagang yang datang itu terjalin dengan sangat erat dan baik.

















  1. ALAT PERANG YANG DI GUNAKAN PONG TIKU SAAT BERPERANG


Ini adalah salah satu senjata Pong Tiku, yang biasa dinamakan keris, senjata ini digunakan  saat berperang melawan kolonialisme Belanda.Dan selain dari senjata di atas ada juga senjata atau alat yang digunakan Pong Tiku saat berperang melawan penjajah yaitu ;
§      Doke
§      La’bo’ panai
§      La’bo’ dua lalan
§      Bayu karran
§      Balulang
§      Tirrik lada
§      Batu di lolin

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH SISTEM INTEGUMEN VERTEBRATA